Rabu, 03 November 2010

BERDAKWAH MELALUI SENI: PENYAMPAIAN PESAN-PESAN DAKWAH MELALUI KESENIAN TUNDANG MAYANG


Abstrak
Di tengah arus budaya yang semakin berkembang, banyak sekali kesenian yang bermunculan. Melihat fenomena tersebut dai harus mampu melihatnya sebagai peluang untuk dijadikan pendekatan dan teknik dalam berdakwah, karena pendekatan dan teknik yang disesuaikan dengan budaya popular turut menyukseskan dakwah. Ketika itu tidak terpenuhi, aktivitas dakwah pun akan terhambat. Karena itu saatnya kini lebih menyoroti seni untuk dijadikan pendekatan dan teknik dalam berdakwah. Salah satunya kesenian Tundang Mayang Sanggar Pusaka Kalimantan Barat. Kesenian Melayu yang merupakan perpaduan dari pantun dan syair yang bernada khas serta diiringi dengan musik instrument dan tarian ini biasa dimanfaatkan untuk berdakwah, muncul pada tahun 1992 di Sanggau—salah satu kabupaten di Kalimantan Barat—yang dibawa oleh Eddy Ibrahim. Sebetulnya berdakwah melalui pendekatan seni bukanlah hal yang baru karena di Indonesia telah berkembang pada masa Walisanga di Pulau Jawa.
Kata kunci: teknik, dakwah, seni, Tundang

Pendahuluan
Mengemas dakwah dengan apik bukanlah pekerjaan mudah, akan tetapi membutuhkan kajian mendalam, sehingga tujuan dakwah yang diinginkan bisa tercapai. Penggunaan teknik yang baik dan menarik serta sesuai dengan situasi dan kondisi turut menentukan kesuksesan dalam berdakwah.
Dakwah pada akhirnya harus mampu memberikan petunjuk kepada manusia, maka dakwah harus ampuh dalam teknis operasionalnya dan efektif dalam tugasnya melayani kemanusiaan serta intensif dalam seluruh komponen yang mendukung keberhasilannya mencapai tujuan. Saat ini dakwah tidak hanya penting, namun juga semakin dirasa perlu pemekaran metodenya sesuai dengan tuntutan zaman. Profil dakwah yang dikehendaki adalah yang memahami kondisi dan situasi masyarakat sasaran dakwahnya melalui pendekatan psikologis, politik, ekonomi, social dan budaya (Jamaluddin Kafie, 1993:29—31). Diharapkan dari berbagai pendekatan tersebut berakhir pada tersampaikannya pesan-pesan dakwah kepada mad’u.
Kondisi masyarakat kita yang memiliki beragam budaya membuat para dai harus mampu melihat realitas tersebut, untuk kemudian menetapkan pendekatan yang sesuai dengan kondisi mad’u. hal ini senada dengan penjelasan Fadullah (1997:20) bahwa aktivitas dakwah perlu memperhatikan berbagai budaya yang popular untuk menyesuaikan metodenya dengan realitas yang ada.
Bagian dari budaya yang identik dengan keindahan adalah seni. Seni merupakan ekspresi jiwa dan budaya manusia yang mengungkapkan keindahan, lahir dari sisi terdalam manusia (fitrah) yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya (Abdurrahman al-Baghdadi, 1991:13). Seni berhubungan dengan insting dan naluri manusia yang dapat membentuk bakat, karakter, dan idealisme seseorang, serta merupakan lambang keindahan. Sementara itu, Islam mengajarkan juga tentang keindahan, maka seni dapat digunakan pada hal-hal yang bernilai kebaikan dan manfaat, seperti dalam melakukan dakwah Islam, dan tentunya jenis seni serta musik yang digunakan bernuansa islami, dalam arti musik yang tidak menimbulkan mudharat (keburukan) sehingga dapat menjerumuskan manusia pada kehinaan di dunia dan akhirat.
Pada masa Rasulullah Saw perihal seni sudah dikenal meski dengan sebutan yang berbeda. Misalnya pada saat itu ada seorang wanita yang pandai memukul gendang sambil bernyanyi. Ia mengemukakan keinginannya kepada Rasulullah untuk menabuh gendang dan bernyanyi untuknya setelah kembali dari peperangan dan membawa kemenangan. Rasulullah pun mempersilakan wanita itu mempertunjukkan keinginannya (Mulyati ar-Rahmah, 1991:91—93). Pada masa Imam Syafi’i seni dikenal dengan at-taghbir atau al-qasidah ash-shufiyah atau al-qashidah az-suhdiyah (Isham Abdul Mun’in al-Murry, 2002:11). Dakwah dengan pendekatan seni juga dilakukan Walisanga lewat seni suara, yaitu dengan menyusupkan inti makna dan jiwa Islam dalam lagu atau nyanyian meraka yang indah-indah, seperti lagu Lir Ilir ciptaan Sunan Kalijaga. Berdakwah melalui seni merupakan salah satu cara efektif dalam berdakwah, karena seni langsung mempengaruhi watak seseorang. Hal ini disebabkan seni sangat berkaitan dengan suasana hati seseorang, sementara keimanan pun berangkat dari persoalan hati.
Saat ini banyak sekali jenis seni yang berkembang di masyarakat seiring dengan perkembangan budaya, di antaranya kesenian Tundang Mayang Sanggar Pusaka. Kata Tundang merupakan singkatan dari kata Tun (pantung) dan Dang (gendang). Dengan demikian, Tundang adalah perpaduan antara pantun, musik, dan tarian, maka disebutlah dengan pantun berdendang. Awalnya kesenian ini diperkenalkan dengan dimainkan oleh satu orang saja dan dibantu sebuah gendang sambil melantunkan pantun. Namun saat ini berkembang menjadi sebuah grup yang terdiri dari beberapa orang. Umumnya kesenian ini dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, seperti peringatan hari-hari besar Islam dan juga pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya umum.
Kesenian ini cukup efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan, hal ini terbukti dengan terpilihnya kesenian ini sebagai kesenian terbaik pada kegiatan Apresiasi Media pertunjukan Rakyat se-Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara, yang diselenggarakan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada tanggal 1—3 Desember 2005. Penilaian terbaik didasarkan pada kemampuannya dalam berkomunikasi secara langsung, cepat, menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Sejarah Munculnya Kesenian Tundang
Munculnya kesenian Tundang Mayang Sanggar Pusaka dilatarbelakangi sejarah yang panjang, hingga saat ini popularlah di tengah-tengah masyarakat. Berikut ini diutarakan sejarah kemunculannya dari ide sampai pada saat sekarang menjelma dalam sebuah karya seni.
Tundang awalnya berarti pantun bergendang karena pelantun melantunkan pantun sambil bergendang, namun setelah alat (instrumen) yang digunakan bertambah dan dikolaborasikan juga dengan tarian maka Tundang berubah arti menjadi pantun berdendang. Materi Tundang tidak hanya berbentuk pantun, akan tetapi juga berupa syair, sekalipun kesenian ini tetap bernama Tundang karena akrabnya nama itu di tengah-tengah masyarakat, hingga sampai sekarang kesenian ini dikenal dengan sebutan Tundang.
Tundang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1992 di Sanggau oleh Eddy Ibrahim. Kesenian Tundang lahir dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk dapat menyampaikan aspirasi dan gagasan melalui sebuah media, melalui media tersebut selain dapat menyampaikan gagasan, diharapkan juga bisa membuat orang yang mendengarnya merasa senang. Untuk mencapai tujuan tersebut, eddy kelahiran Pontianak pada 21 April 1963 menciptakan Tundang sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi dan gagasannya.
Ide tentang Tundang sebenarnya sudah ada di benaknya sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1979 namun belum bisa diwujudkan, hingga pada pagelaran Musabaqah Tilawah Quran (MTQ) tingkat kecamatan di Sanggau tahun 1992, kesenian yang saat itu belum bernama ini atas permintaan panitia coba ditampilkan saat kekosongan acara sambil menunggu kekosongan acara sambil menunggu pengumuman pemenang lomba. Dibantu sebuah gendang pinjaman dari Grup Kasidah yang juga tampil pada acara itu, Eddy mulai berpantun sambil bergendang. Karena kebiasaan Eddy suka berpantun, sebenarnya pantun yang dibawakannya sudah dibuat sebelumnya walaupun ia tidak mengira sebelumnya akan tampil pada acara itu. Eddy juga dengan spontan berpantun dengan mengambil tema kejadian-kejadian lucu yang terjadi di lokasi kegiatan, sehingga membuat penonton tertawa. Berikut ini cuplikan pantun yang dibawakannya.

Buah mempelam buah kuini
Dipetik orang berjalan kaki
Betapa gembira hati kita malam ini
Bersama menyaksikan acara MTQ

Orang Berenang ke pulau Sampit
Di tengah laut ada buaya
Jika pemenang dapat hadiah
Janganlah lupa kepada saya

Pergi ke Kuala berjalan kaki
Dari Kuala kita ke Mempawah
Saya heran kalau ada acara MTQ
Ngapai bah yang nonton saja orang yang tua-tua

Elok indah Sanggau Permai
Banyak orang pakai sepeda
Kulah ronung penonton mulai nak ramai
Lurah Beringin pun ikut main kasidah

Sungguh enak sekali rasanya lempar
Dimakan orang berlalap lobak
Saya lihat para dewan juri sangatlah lapar
Memborong bakso satu gerobak

Goreng pisang pakai mentega
Pisang raja di dalam peti
Yang menang janganlah bangga
Yang kalah jangan patah hati

Kue lapes pakai durian
Panton abes cukup sekian

Penampilannya tidak berhenti pada malam itu, Eddy kembali diminta tampil pada acara ulang tahun Gapensi, mengikuti Festival Budaya Muslim di Masjid Raya Mujahidin Pontianak yang diutus oleh Departemen Agama Kabupaten Sanggau, tampil juga pada acara MTQ tingkat provinsi di Mempawah. Sejak saat itu, Eddy selalu ditunjuk untuk menjadi duta kesenian oleh Pemerintah Kabpaten Sanggau. Setelah sekian lama tampil, Eddy pun kesulitan untuk memberikan nama kesenian ini, hingga pada suatu hari Eddy bersama rekannya Dani dan Long Fa’i (sapaan akrab Bapak Rifa’i) duduk dan diskusi di sebuah warung kopi di Sanggau untuk membicarakan masalah pantun yang dibawakannya, yang menurut Long Fa’i kesenian ini sangat bagus dan perlu dikembangkan. Setelah perbincangan itu berjalan cukup lama, akhirnya muncul sebuah nama yaitu Tundang yang berarti berpantun sambil bergendang, sehingga popularlah kesenian ini dengan nama Tundang.
Mulailah nama Tundang dibawa dalam setiap kali pertunjukan. Eddy tampil tidak lagi sendiri, ia ditemani oleh kerabatnya Dani dan Busni dengan memanfaatkan peralatan gendang dan gitar akustik, dengan demikian penampilan Tundang kali ini kelihatan semakin meriah. Eddy pun pindah tinggal ke Sungai Burung dan di sana ia kembangkan kesenian ini bersama remaja masjid Fastabiqul Khairat. Tampillah Tundang pada acara khataman, pernikahan, dan mengikuti pentas budaya. Selang beberapa lama, rekan-rekan remaja masjid disibukkan dengan pekerjaan untuk mencari nafkah dan ada pula yang menikah, sehingga Tundang sempat fakum. Perjuangan Eddy tidak sampai di situ, Tundang kembali melakukan pertunjukan pada acara Seleksi Tilawah Quran (STQ) tingkat kecamatan dan kabupaten di Desa Purun Kecil dengan mengajak beberapa orang dari desa setempat.
Penampilan di STQ tersebut Tundang tidak lagi menggunakan pantun, akan tetapi menggunakan syair. Digunakan syair karena akan lebih banyak pesan yang disampaikan daripada pantun yang membutuhkan waktu lama untuk menyampaikan pesan karena masih harus menggunakan sampiran untuk sandaran bunyi pesan yang disampaikan. Sampailah saat ini, Tundang lebih banyak menggunakan syair sehingga jarang menggunakan pantun dengan pertimbangan tersebut. Sekalipun ada, pantun hanya sebagai ungkapan pembuka dalam lantunan tanpa diiringi musik instrumen. Keberadaan syair dalam Tundang tidak lantas menjadikan kesenian ini berubah nama karena akrabnya sebutan Tundang di masyarakat.
Melihat remaja masjid Fastabiqul Khairat di Sungai Burung dalam kondisi fakum, maka Eddy pun menyarankan Basuni membentuk grup Tundang di Desa Sungai Purun Besar. Selang beberapa lama, rekan-rekan di Desa Punggur juga berinisiatif membentuk Tundang yang sebelumnya berkonsultasi dengan Eddy, sehingga terbentuklah Tundang di sana. Tidak lama kemudian, tahun 2004 di Sungai Burung sudah ada generasi dan Eddy pun kembali mengembangkan Tundang di sana yang kini dilengkapi beragam peralatan serta dilengkapi pula dengan tarian, Tundang pun tidak lagi tidak lagi diartikan dengan pantun bergendang, namun menjadi pantun berdendang. Tidak hanya bernama Tundang saja, akan tetapi bertambah nama menjadi Tundang Mayang. Untuk melestarikan kesenian ini, Eddy mendirikan sanggar bernama Pusaka, sehingga tampillah kesenian ini dengan sebutan Tundang Mayang Sanggar Pusaka.

Pesan-Pesan Dakwah dalam Tundang
Pesan dalam kesenian Tundang disampaikan melalui syair dan pantun yang bersifat fleksibel, artinya disesuaikan dengan tema atau situasi dan kondisi. Sekalipun demikian, sebagai seorang Muslim, dalam lantunan syair atau pantun selalu menyertakan pesan dakwah di dalamnya. Pesan dakwah adalah materi yang disampaikan oleh dai kepada mad’u. materi tersebut adalah ajaran Islam yang bersumber dari Quran dan Hadis yang meliputi aspek akidah, akhlak, dan syariat. Pesan akidah adalah materi dakwah yang berbicara tentang keimanan, tauhid, dan ketuhanan, seperti yang bisa kita lihat dalam petikan syair berikut ini.
Sebagai manusia kita harus banyak bersyukur
Buanglah jauh-jauh sifat sombong takabur
Janganlah sampai ingin kaya serta makmur
Lalu minta tolong dapat rejeki dengan pohon serta kubur

Muhammad adalah rasul pilihan
Nabi terakhir yang diutus Tuhan
Apa yang dia lakukan jadikanlah teladan
Agar kita selamat di hari kemudian

Sementara itu, pesan dakwah yangbersifat akhlak dapat berupa tuntunan sikap dan perilaku. Hal ini bisa dilihat dalam syair berikut ini.
Bapak dan ibu hadirin yang budiman
Hingga di sini perjumpaan kita
Ampon dan maaf jika ada salah kata
Sampai jumpa di acara sepak bola piala dunia

Khatamul Quran pada malam ini
Sebagai ugkapan syukur pada Ilahi
Seta menghormati Al-Qur’an kitab suci
Dan sebagai bukti telah khatam mengaji

Bait syair pertama memberikan isyarat kepada kita bahwa jika ada salah segera meminta maaf, agar kesalahan tersebut bisa terhapuskan. Sementara bait yang kedua, kita diminta untuk menghormati Al-Qur’an sebagai kitab suci, sebagai salah satu sikap yang mesti dilakukan, khususnya oleh umat Muslim.
Sedangkan pesan syariat dapat berupa ajakan untuk melakukan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dengan berbakti dan beribadah kepada-Nya, seperti yang tertuang dalam bait syair berikut ini.
Al-Quran adalah perkataan Tuhan
Yang selalu kita sebut juga sebagai firman
Kandungan dan isinya mari kita amalkan
Janganlah Al-Qur’an hanya dijadikan pajangan

Muhammad adalah rasul pilihan
Nabi terakhir yang diutus Tuhan
Apa yang dia lakukan jadikanlah teladan
Agar kita selamat di hari kemudian

Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Melalui Kesenian Tundang
Sampai atau tidaknya pesan yang disampaikan bergantung pada cara penyampaian yang digunakan. Cara yang digunakan harus sesuai dengan kondisi mad’u, sehingga proses penyampaian pesan dapat berjalan dengan baik. Penyampaian pesan melalui kesenian Tundang dilakukan dengan metode billisan (oral) dan disampaikan secara langsung dengan bertatap wajah antara personil Tundang dan penontonnya. Kelebihan metode billisan adalah mampu menyampaikan pesan secara langsung, cepat, dan mudah dimengerti, karena cirinya adalah menggunakan bahasa berupa rangkaian kata, dan bahasa merupakan alat komunikasi efektif karena antara dai dan mad’u dapat saling memahami pesan dengan cepat.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini membuat sarana komunikasi menjadi semakin canggih, saat ini komunikasi dapat dilakukan melalui telepon, faxcimile, radio, televisi, film, satelit, dan lain sebagainya. Namun tetap saja sarana yang paling ampuh untuk human communication ialah komunikasi tatap muka (face to face communication). Jika komunikasi dilakukan dengan tatap muka kepada mad’u, dai dapat melihat dan merasakan apakah “gayung bersambut kata berjawab”. Misalnya jika dai melihat mad’u terangguk-angguk dan matanya terpejam, berarti dia tidak sedang mendengarkan dakwah yang disampaikan oleh dai. Demikian juga jika melihat mad’u yang matanya menatap tetapi pandangannya hampa, dai tau bahwa mad’u tidak mendengarkan dan pikirannya menerawang. Ada pula yang menggunakan kepala saat memberikan penekanan kepada hal-hal yang kita ulas dan matanya yang bersinar-sinar pertanda mad’u mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Semuanya itu merupakan karakteristik komunikasi tatap muka yang tidak dijumpai dalam bentuk komunikasi yang lain, seperti komunikasi melalui media audio-visual atau komunikasi media cetak.
Ada beberapa teknik yang digunakan kesenian Tundang untuk menyampaikan pesan dakwah. Pertama, menggunakan syair dan pantun, keduanya merupakan tradisi lisan yang dikenal dalam bidang sastra. Digunakan sastra dalam berdakwah karena memiliki keindahan khas yang bisa menarik minat mad’u, karena seseorang secara umum memiliki naluri atau sisi keindahan. Kanyataan ini terbukti pada masa Rasulullah Saw, sastra dijadikan kesenangan, kecintaan, dan pekerjaan dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena kecintaan dan kesenangan bangsa Arab terhadap keindahan sastra yang luar biasa inilah kemudian Allah Swt menurunkan kitab Quran sebagai salah satu mukjizat untuk menunjukkan kebenaran dan kebesaran Ilahi dalam bahasa yang maha indah dan maha suci sebagai “tandingan” budaya lisan yang dimiliki dan dibanggakan bangsa Arab kala itu.
Zainuddin al-Maebari, seorang ulama tasawuf dan ahli sejarah terkenal pada abad ke-15 Masehi menuturkan bahwa keberhasilan dakwah Islam di India dan Asia Tenggara, khususnya Malabar, banyak dibantu melalui syair yang dinyanyikan. Dalam tradisi sastra Melayu, pengembangan ajaran Islam dalam bentuk puisi dan syair dapat dilihat melalui karya-karya Hamzah Fansuri yang hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. bahkan di Aceh, hikayat perang sabil menjadi sebuah karya sastra monumental dalam membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh melawan Belanda. Hikayat perang sabil mampu “menyihir” rakyat Aceh untuk menegakkan ajaran Islam dengan jihad fi sabilillah melawan kezaliman Belanda (Dedy Ari Asfar dalam Yusriadi dan Patmawati, 2006:189).
Kedua, menggunakan beberapa bentuk gaya bahasa, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, nada, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Berdasarkan pilihan kata menggunakan gaya bahasa percakapan, dengan tujuan agar lebih menciptakan suasana akrab dan lebih santai. Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka yang harus diperhatikan adalah memilih kata-kata yang tepat, jangan sampai kata-kata yang digunakan membuat mad’u merasa tidak nyaman dengan lantunan syair Tundang. Oleh karena itu, perlu penyeleksian terhadap kata-kata yang digunakan, sudah sesuai atau belum dengan penontonnya. Pertimbangan seperti ini dilakukan agar mad’u dapat memahami isinya denganbaik, tanpa dipaksa, bahkan hingga menciptakan suasana tawa dan riang.
Pertimbangan etis tidaknya kata yang digunakan harus merujuk pada paradigma dan landasan yang benar. Dalam Quran dapat ditemui tuntunan yang baik, misalnya istilah qaulan ma’rufa (perkataan yang baik dan pantas), qaulan kariman (perkataan yang mulia), dan qaulan maisura (perkataan yang mudah dimengerti). Gaya bahasa berdasarkan nada yang digunakan adalah gaya menengah, gaya menengah merupakan gaya bahasa yang di arahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana damai dan senang, sehingga nadanya juga bersifat lembut, penuh kasih sayang, dan humor yang sehat.
Ketiga, salah satu ciri khas kesenian Tundang Mayang Sanggar Pusaka adalah humor, setiap syair yang dilantunkannya tidak terlepas dari kata atau kalimat yang bisa membuat penonton tertawa. Teknik humor yang biasa digunakan Tundang adalah teknik superioritas dan degradasi, yang menurut Jalaluddin Rakhmat (2001:126—127) adalah salah satu teknik yang bisa membuat kita tertawa bila menyaksikan sesuatu yang janggal, keliru atau cacat. Objek yang membuat kita tertawa adalah objek yang ganjil, aneh, dan menyimpang. Kita tertawa karena merasa tidak mempunyai sifat-sifat objek yang “menggelikan”. Sebagai subjek, kita mempunyai kelebihan (superioritas), sedangkan objek tertawaan kita mempunyai sifat-sifat yang rendah. Ketika tertawa selalu menemukan maksud tersembunyi dari humor yang disampaikan.
Penekanan bisa menjadi alat ampuh untuk menarik perhatian penonton dalam menyimak apa yang disampaikan pelantun. Jika penonton telah menyimak lantunan karena penekanan tadi, maka dapat dipastikan pesan yang disampaikan mudah diterima dan akan lebih lama lekat dalam pikiran seseorang, sebab sesuatu yang diikuti dengan antusias akan lebih diingat. Perulangan juga bisa menjadi perhiasan atau keindahan syair, dengan adanya kesamaan bunyi, kata, dan kalimat menjadikan syair lebih indah untuk dinikmati dan lebih mudah untuk dimengerti.
Keempat, berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya bahasa retoris semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, sementara gaya bahasa kiasan merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Dalam kesenian Tundang, gaya bahasa retoris yang digunakan terdiri atas aliterasi, asonansi, rima, konkatensi, enumerasi, dan paralelisme. Sementara itu, gaya bahasa kiasan yang digunakan adalah gaya perumpamaan atau perbandingan (smile). Perumpamaan biasanya menyamakan satu hal dengan hal lain. Yang menarik dari gaya ini adalah gaya perumpamaan, karena dengan gaya ini pesan dapat dikemas dengan suasana yang lain dan lebih implicit, dan melalui gaya ini pula lantunan akan terasa lebih indah.
Kelima, berdasarkan struktur kalimat, gaya bahasa yang digunakan adalah repetisi. Repetisi adalah gaya ulang yang hadir dalam hampir semua puisi dan prosa dan menentukan unsur instrinsik yang sangat penting dalam menciptakan kesatuan. Repetisi bisa terdiri atas bunyi, kata atau suku kata tertentu, frase, bait, ide, dan bentuk. Termasuk dalam kategori repetisi adalah aliterasi, asonansi, rima, konkatensi, enumerasi, dan paralelisme. Tujuan dari perulangan ini berfungsi sebagai penjelasan atau penekanan pada kata yang dianggap penting, memperindah, juga agar kata-kata yang berkejauhan masih terasa berkaitan, serta memberikan kemudahan pelantun untuk melantunkan syair berikutnya.


Penutup
Pada akhirnya dakwah yang dilakukan harus mampu menjawab segala tantangan yang terus bergulir seiring dengan perubahan zaman. Kita bisa lihat kondisi masyarakat saat ini, mereka memiliki beragam corak budaya yang berbeda sesuai dengan nilai yang dianut. Melihat kondisi semacam ini, dai harus mampu melihat dan bisa menciptakan formulasi baru pendekatan dakwah dengan melihat corak budaya masyarakat tersebut, dengan demikian dakwah baru bisa dilakukan dengan efektif. Mengingat luasnya sasaran dakwah maka tidak mungkin sebuah pendekatan bisa menjawab seluruh kebutuhan dan tantangan dalam berdakwah, akan tetapi setidaknya dapat memberikan sumbangsih pemikiran tentang salah satu teknik efektif untuk berdakwah di kalangan masyarakat yang multikultur.

Daftar Pustaka
Abdurrahman al-Baghdadi. 1991. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vokal, Musik & Tari. Jakarta: Gema Insani Press.
Dedy Ari Asfar. 2006. “Sastra, Dakwah, dan Islamisasi di Kalimantan Barat” dalam Yusriadi dan Patmawati (ed.). Dakwah Islam di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Isham Abdul Mun’in al-Murry. 2002. Nasyid Bid’ah?. Jakarta: Darul Falah.
Jalaluddin Rakhmat. 2001. Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Jamaluddin Kafie. 1993. Psikologi Dakwah. Surabaya: Indah.
Muhammad Husain Fadullah. 1997. Metode Dakwah dalam al-Qur’an (Terj. Tarmana Ahmad Qasim). Jakarta: Lentera.
Mulyati ar-Rahmah. 1991. Sikap dan Perilaku Dakwah Rasulullah Saw. Bandung: Remaja Rosdakarya.